Sep 1, 2014

Namanya Lim #NAR

Dia terbiasa dipanggil Lim. 
Lim pernah bercerita bahwa nama itu sudah melekat pada dirinya sejak dibangku sekolah menengah pertama. Teman-temannya maupun guru-gurunya memanggilnya dengan nama pendek itu. Bukan Har tapi Lim.


Nama lengkapnya Anggara Harlim Pernada. Anggara diambil dari nama keluarga ibunya dan Pernada diambil dari keluarga ayahnya. Lim asli Bandung. Lahir dan menetap di sini. Tanah kelahiranku. Tapi, kami bertemu bukan sejak kecil melainkan kami bertemu setelah aku kembali ke kota kelahiranku.

Sejak berumur sepuluh tahun kami sekeluarga pindah ke Semarang mengikuti Papa yang dipindah tugaskan. Kemudian aku kembali ke Bandung untuk kuliah. Meninggalkan Semarang dan juga Rai.

Ngomong-ngomong soal Rai, kami resmi menjalani long distance relationship. Tidak ada pilihan lain. Rai di Semarang aku di Bandung.

Kembali pada Lim.

Awal pertemuan kami ketika penerimaan mahasiswa baru. Dia seniorku. Sejak kali pertemu mata Lim tidak pernah berpaling dariku. Bahkan, aku merasa ke mana pun aku pergi, Lim mengawasiku. Dan di saat kami beristirahat di hari pertama OSPEK Lim menghampiriku.

"Hai, aku Lim."ia mengulurkan tangannya tanpa basa basi.

"Ehm, hai. Rinai!"jawabku. Kemudian aku terdiam. Kuharap dia mengerti dengan kediamanku.

"Hanya ingin mengenalmu. Itu saja."katanya sembari melangkah mundur tanpa mengalihkan pandangannya dariku dan berbalik kembali berkumpul bersama senior yang lain.

Dia berbeda dengan Rai. Lim tidak akan sungkan-sungkan mengutarakan pendapatnya jika itu bertentangan dengan dirinya. Dia tidak peduli jika orang lain akan membencinya bahkan mengucilkannya. Pernah sekali dia mendapatkan nilai E pada mata kuliah Pak Fatan karena menentang dosen itu. Dia tidak peduli.

"Kenapa kamu seperti itu?"tanyaku waktu itu.

"Kenapa kenapa? Begini. Jika kamu merasa benar, apa kamu akan diam saja?"tanyanya kembali.

"Iya. Jika itu membuatku mendapatkan nilai A."jawabku. Lim mengangkat satu bibirnya.

"Nai. Nilai A tidak akan membuatku dikenal orang. Terlalu banyak mahasiswa pintar di sini."katanya. Ia mengacak-acak rambutnya. Kemudian meraba dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis. Aku baru menyadari bahwa Lim terlihat mempesona dengan jenggot dan kumis itu.

"Jadi, kamu kuliah bukan untuk mendapatkan nilai bagus, tetapi untuk dikenal orang?"asumsiku.

"Tidak sepenuhnya benar. Katakanlah aku pandai, mendapatkan IPK tertinggi. Lalu apa? Aku akan dikenal hanya saat itu. Sesudah itu? Mereka ingat kamu ada saja kemungkinannya kecil."dia berdeham."Percaya padaku. Seumur hidup Pak Fatan dia akan mengingatku."katanya dengan pongah.

Aku tertawa."Gila."

"Apa kamu belum juga menyukaiku?"tanyanya lagi. Aku terdiam. Sudah beberapa bulan ini dia berkata seperti ini. Bahkan, sejak kami kenal dahulu dia sudah berkata ingin mengenalku.

"Aku masih bersama Rai."jawabku. Itu benar. Kami masih baik-baik saja, meskipun terkadang Rai marah tanpa alasan. Dia pencemburu.

"Kamu setia. Apa kamu yakin dia akan melakukan hal yang sama?"

"Aku yakin. Dia terlalu sulit untuk bergaul. Apalagi dengan perempuan."kataku. Bahkan, dulu sewaktu kami dekat, aku-lah yang memulainya. Dan aku-lah yang mengatakan bahwa aku mencintainya.

"Dia susah bergaul bukan berarti orang lain susah dekat dengannya."kata Lim.

Aku terdiam. Separuh diriku mengakui akan hal itu. Rai bukanlah pemuda yang tidak menarik. Dari penampilannya yang apa adanya dan sikapnya yang sedikit penakut, tetapi dia laki-laki yang menarik. Terakhir kali kami bertemu sebulan yang lalu, dia semakin menarik. Cara bicaranya pun semakin tegas. Tidak menutup kemungkinan akan ada perempuan yang tertarik dengannya. Rai rupawan.

"Kamu setuju akan ucapanku?"Lim membuyarkan lamunanku.

"Aku masih percaya. Dia akan tetap setia."kataku lebih meyakinkan diri sendiri.

"Kamu saja tidak yakin, bagaimana aku bisa mempercayaimu?"

Aku mendengus kesal.

"Katakan padaku jika kau sudah memutuskan untuk meninggalkan Rai."kata Lim. Ia tersenyum. Dari wajahnya aku dapat melihat ketulusan di sana. Dia masih mau menungguku meskipun tahu aku memiliki kekasih. Kali ini aku diam.

Mendadak aku takut, bahwa di sana ada ruang kecil yang tersedia untuk Lim.

1 Comments:

  1. Nice... tulisan yg bagus.. yuk mampir buat yg cari referensi tentang naik gunung...

    ReplyDelete

Komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Hanya memastikan semuanya terbaca :)

Usahakan berkomentar dengan Name/URL ya, biar bisa langsung BW balik saya ^^

Banner IDwebhost