Apr 8, 2015

Permintaan maaf

Benda itu bercorak bunga kenanga, dasarnya berwarna putih gading, dan tubuh bagian tengah benda itu melengkuk bagaikan sebuah gitar. Sebuah vas bunga yang entah bagaimana aku mendapatkannya. Vas itu sudah berada di bufet ruang tamu rumah kedua orangtuaku selama bertahun-tahun.
Aku sudah melihat benda itu semasa kedua orangtuaku masih hidup, lima tahun lalu. Tepat ketika pemakaman kedua orangtuaku.
Aneh rasanya, melihat benda itu tiba-tiba saja muncul selang kedua orangtuaku meninggal. Dan, tak ada satu pun yang mengakui menjadi pemilik vas bunga tersebut.
Aku masih ingat. Saat itu, tanggal 8 April 2010. Lima tahun lalu. Aku menangis dalam diam, terisak tak keruan. Kemudian, di sela-sela mata sembabku aku melihat vas bunga itu. Berdiri tenang dalam bufet kaca ruang tamu. Sendirian, tanpa bunga yang menghiasinya.
Selama lima tahun, aku membiarkan vas itu tetap di sana berteman dengan debu. Namun kini, aku penasaran untuk menyentuhnya.
Kubuka perlahan pintu kaca yang menghalangiku dengan vas bunga tersebut. Secara perlahan kuraih benda pecah belah itu. Begitu halus dan indah. Kueelus perlahan benda tersebut penuh kasih. Seakan benda itu begitu berharga dan aku takut melukai. Mendadak vas bunga itu menjadi begitu hangat.
Aku terkejut tatkala vas bunga itu semakin hangat dan membuat badanku lemas. Ingin rasanya kulepas benda itu dari genggamanku, namun aku tak kuasa. Hingga kurasakan tubuhku menghangat dan terasa begitu lepas, dan ringan. Kemudian, aku tak sadarkan diri.
Mataku terasa begitu berat. Berkali-kali kucoba untuk membukanya, namun hanya pandangan buram yang kudapat. Dan, ketika pandanganku benar-benar pulih, aku terkejut. Ruang tamu yang tadinya begitu hening, kini ramai dipenuhi oleh orang-orang yang berbaju serba hitam. Bahkan, aku mendapati diriku sendiri pada lima tahun yang lalu, sedang menangis dalam diam.
Aku sama sekali tak mengerti, kenapa bisa tubuhku kembali ke masa lalu. Terlebih lagi vas bunga yang kugenggam tadi telah menghilang. Bahkan, aku tidak melihatnya di dalam bufet.
Dengan ragu, aku mendekati diriku sendiri yang terduduk lesu sembari bercucuran air mata. Memandang bulu mataku yang basah, bibir  dan hidung yang memerah. Aku menelan ludah berkali-kali, berharap diriku tak menyadari kehadiranku. Nampaknya, memang aku kasat mata.
Kemudian, aku mendapati seseorang sedang bersembunyi di balik dinding ruang tamu. Seorang lelaki. Di antara keramaian rumah ini, ia berdiri mematung melihat ke arahku. Aku tak mengenal siapa dia. Namun, dari caranya berpakaian, aku tahu dia bukan hendak berbela sungkawa datang ke rumah ini.
Ia terlihat berbeda.
Detik berikutnya, aku terkejut ketika kudapati pada genggaman tangan lelaki itu terdapat sebuah vas bunga yang tadinya kugenggam. Kutautkan kedua alisku semakin tak mengerti. Terlebih lagi, saat lelaki itu berjalan mendekati bufet dan hendak meletakkan vas tersebut ke dalam bufet. Segera aku menghampirinya, dan ikut memegang vas bunga tersebut.
Lelaki itu terkejut, dan mendadak tubuhku memanas. Lagi-lagi, aku tak sadarkan diri.
Ketika aku terbangun, aku sudah berada di ruang tamu rumahku. Namun, keadaannya jauh berbeda. Jauh lebih bersih dan terawat, dan juga terdapat foto-foto diriku yang mulai menua.
“Akhirnya, aku bisa bertemu denganmu kembali,”seseorang bicara padaku. Dia adalah lelaki yang muncul di rumahku lima tahun yang lalu, tahun 2010.
“Siapa kamu?”
“Suamimu.”
Aku terkejut. Kupikir dia berbohong, namun ketika aku melihat salah satu potret pada salah satu dinding, aku mulai kebingungan. Dalam potret tersebut ada fotoku yang mulai menua, lelaki itu, dan seorang anak kecil.
“Aku sengaja meletakkan vas bunga ini, ketika kau berumur 20 tahun. Atas permintaanmu.”
“Benarkah begitu?”
“Ya, kamu ingin menemui ayah dan ibumu kembali ketika kamu kehilangan sepuluh tahun yang lalu.”
“Sepuluh tahun yang lalu?”
“Ya.”Dia berdeham. “Kamu sudah tiada sebulan yang lalu. Sebelum kamu meninggal, kamu berpesan untuk menaruh vas bunga itu ke tahun di mana orangtuamu meninggal.”
Terus terang aku terkejut. Tentu saja, ini tidak masuk akal.
“Kamu menyesal, belum pernah minta maaf atas perbuatanmu kepada kedua orangtuamu. Maka dari itu, kamu ingin kembali ke masa lalu.”
Aku ingat, ketika kedua orangtuaku meninggal. Sehari sebelumnya, kami bertengkar hebat. Dan, aku berteriak pada mereka bahwa aku menyesal menjadi anak mereka.
Lelaki itu, yang menyebut sebagai suamiku, menyerahkan vas bunga itu kepadaku. “Sekarang, kamu bisa kembali ke masa sepuluh tahun lalu, sebelum kedua orangtuamu meninggal. Dan, berbahagialah.”
Aku mengangguk, dan meraih vas bunga tersebut.

Untuk ketiga kalinya, aku tak sadarkan diri.





 photo Ullan2.png

1 Comments:

Komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Hanya memastikan semuanya terbaca :)

Usahakan berkomentar dengan Name/URL ya, biar bisa langsung BW balik saya ^^

Banner IDwebhost