Sungguh, saya tidak pernah menyangka bahwa drama hamil itu sekacau ini.
Sewaktu kuliah, di masa-masa semester akhir, saya melihat Nina - teman sekelas yang mengurus Tugas Akhir lebih dulu - dengan perut besarnya pulang-pergi dari Krian ke kampus naik bus. Dia melakukan bimbingan dan penelitiannya untuk tugas akhir dengan perutnya yang besar. Nina menikah ketika dia masih mahasiswa, kemudian hamil. Saya melihatnya biasa saja - tidak ada keluhan - sehat, kuat, dan tetap bergerak bebas. Ketika ujian tugas akhir, anaknya masih bayi, kami bergantian menggendong selama dia di dalam ruangan untuk ujian.
Tidak hanya Nina, saya melihat orang-orang di sekitar saya hamil pun penuh energi dan tidak ada yang menunjukkan bahwa hamil itu penuh perjuangan.
Saya pikir, ketika hamil kita akan merasakan mual di pagi hari saja. Ternyata, saya salah.
Memang, di pagi hari saya mual-mual. Tapi, tidak hanya pagi saja. Siang, sore, malam pun saya mual. Bahkan, sampai di titik muntah keluar darah. Fiuh.
Hal yang lebih membuat saya lelah ketika hamil adalah asam lambung naik parah dan tensi saya tinggi.
Drama Hamil
Saya mengetahui bahwa saya sedang hamil di bulan Agustus. Sebelum menikah, jadwal menstruasi berantakan dan sering datang terlambat. Bahkan, ketika saya sedang stres berat, saya tidak datang bulan. Maka, setelah menikah dan saya telat menstruasi, saya biasa saja meskipun suami selalu berkata, “Dek, mungkin hamil?”
“Nggak, aku sudah terbiasa seperti ini (menstruasi terlambat),” jawab saya.
Namun, ketika saya merasakan hal-hal di luar biasanya yakni selain menstruasi terlambat dan sering masuk angin, puting saya terasa nyut-nyutan. Saya terbiasa mencatat jadwal menstruasi di aplikasi dan saat itu, di dalam catatan saya terlambat dua minggu. Maka, saya memutuskan membeli tes kehamilan.
Nyatanya, dalam alat itu menunjukkan garis dua alias positif hamil.
Asam Lambung
Awal hamil, saya masih baik-baik saja. Saya bisa makan sambal, rujak, kecut, dan lainnya. Lalu, masuk usia 11 minggu drama dimulai. Saya tidak hanya mual biasa, tetapi sudah di tahap mual muntah. Pemicunya bukan lagi karena dingin atau masuk angin, tetapi karena kecut, pedas, santan, cokelat, dan lainnya yang memicu asam lambung.
Dari minggu 11 itu, saya tidak bisa makan pedas dan teman-temannya. Kalian tahu sampai berapa bulan? Sampai nyaris 9 bulan :)
Selama 8 bulan lebih saya tidak bisa makan dengan nikmat. Makan cokelat muntah, mi muntah, bahkan makan nasi bungkus pun muntah.
Karena asam lambung ini, saya jadi kesulitan tidur. Tidur dengan posisi miring menekan dada dan akhirnya, asam lambung naik. Jadinya, saya bisa tidur terlentang dengan kepala lebih tinggi. Namun, menjelang lahiran, tidur di posisi apa pun terasa salah. Asam lambung saya tetap naik. Rasanya dari sekian semester kehamilan, semester 3 merupakan paling membuat saya menderita.
Preeklamsia
Sejak minggu kesebelas pula, tensi saya naik. Tentu, saya belum dinyatakan preeklampsia bahkan saya masih tidak peduli dengan hal ini. Namun, tiap bulan ketika waktu kontrol tiba, saya menjadi cemas dan tensi semakin naik. Dokter yang menangani saya meminta saya untuk diet garam dan hal-hal yang meningkatkan tensi. Saya sudah lakukan itu, akan tetapi tensi tetap tinggi. Sampai akhirnya, saya diminta untuk minum obat penurun tekanan darah.
Minum obat penurun tekanan darah cukup membantu mengontrol tekanan darah, akan tetapi tidak membuat tensi saya turun. Tensi yang saya miliki yakni antara 130/90 sampai 150/90. Lalu, dokter meminta saya untuk tes urine setiap bulan untuk mengecek protein yang ada dalam urine.
Tanda lain dari preeklamsia adalah pembengkakan. Menurut informasi yang saya dapatkan dari puskesmas, bengkak yang akan dialami penderita preeklamsia yakni seluruh badan, bahkan sampai wajah. Syukurlah saya hanya mengalami sedikit pembengkakan pada kaki, itu pun tidak selalu muncul.
Sampai delapan bulan protein urine saya negatif, akan tetapi masuk bulan kesembilan protein urine menjadi positif satu. Akhirnya, saya memutuskan minta surat rujukan dari faskes 1. Lalu, saya memutuskan untuk melakukan operasi caesar di usia kehamilan 37 minggu.
Proses Persalinan Caesar
Alasan saya memilih operasi caesar adalah karena tidak berani ambil risiko. Banyak kasus kematian baik ibu ataupun anak ataupun keduanya karena preeklamsia. Bahkan, teman saya sendiri juga mengalami “tidak sadar diri”, “pendarahan” usai melahirkan karena preeklamsia. Banyak juga yang menceritakan kisah mereka di TikTok mengenai preeklamsia ini, sehingga saya semakin takut mengambil risiko.
Maka, saya dan keluarga sepakat untuk melahirkan lewat operasi.
Saya melakukan operasi pada tanggal 26 Maret 2026. Kami diminta datang pagi, yakni pukul setengah tujuh untuk melakukan administrasi dan tes lab. Begitu selesai tes lab, saya menunggu dan diminta untuk puasa sampai waktu operasi tiba.
Operasi yang saya lakukan merupakan tipe ERACS. Dengar-dengar, caesar eracs ini minim sakit (sebab, tidak mungkin, tidak sakit). Sebelum masuk ruang operasi, saya diberikan permen karet dan minum teh hangat. Lalu, saya juga dipasang kateter. Sungguh, pemasangan kateter ini benar-benar membuat saya tidak nyaman, bahkan setelah pemasangan. Rasanya seperti anyang-anyang, pengen pipis tapi air seni saya sudah mengalir dengan sendirinya.
Waktu itu, rasanya ingin saya lepas saja dan tidak jadi operasi.
Apakah saya takut operasi? Terus terang, pikiran saya lebih tenang karena persalinan operasi. Sebab, kelas 5 SD saya sudah pernah berada di meja operasi, sehingga saya sudah memiliki bayangan bagaimana rasanya meskipun mungkin bakalan berbeda.
Saat itu, saya memiliki dua teman yang melahirkan dengan cara dioperasi. Teman satunya karena dia memiliki ambeyen dan satu lagi karena tekanan darah tinggi. Kami dibawa ke ruangan untuk berganti pakaian. Tentu, kami harus melepas semua pakaian dan berganti dengan baju yang diikat di bagian belakang. Setelah itu, secara bergantian kami dibawa ke ruang operasi.
Ada hal yang saya takutkan dalam operasi persalinan ini yakni suntik anestesi. Dengar-dengar, suntik ini itu sangat sakit. Sehingga, saya benar-benar takut dan penasaran sakitnya seperti apa. Dokter anestesi pun masuk, dia menyiapkan alat suntik dan diketuk-ketukan ke wadah besi sehingga menciptakan bunyi nyaring. Saya diminta untuk duduk dengan sedikit membungkuk sambil memeluk bantal. Saat itu, saya memejamkan mata, merasakan punggung saya diolesi alkohol. Saya menunggu alat suntuk itu masuk ke daging saya, tetapi sampai akhirnya saya diminta tidur kembali, saya tidak merasakan apa-apa.
Lho, katanya sakit? Ternyata, lebih sakit dipasang kateter.
Saat obat bius bekerja, saya merasa kaki kesemutan. Saya berkata seperti itu pada dokter di sana. Lalu, dokter tersebut menjelaskan cara kerja obat bius. Saya akan tetap merasakan tubuh saya disentuh, digerakan dan lainnya tapi tidak akan terasa sakit. Berbeda dengan bagian tubuh yang tidak terkena obat bius. Dokter tersebut mempraktikan dengan mencubit lengan saya dan mencubit perut saya.
Operasi pun dimulai. Dokter sempat berkata, apabila saya merasakan sesak, saya diminta untuk memberitahunya. Selang beberapa menit, saya sesak. Akhirnya, saya diberi alat bantu. Oh ya, ujung jari saya juga ada alat bantu untuk mengecek kondisi jantung.
Selama operasi, saya mendengar bayi menangis. Saya berpikir, apakah itu anak saya? Ternyata bukan, sebab setelah operasi berlangsung beberapa waktu, dokter baru memberi selamat pada saya dan suara tangisan anak saya terdengar lebih jelas.
Tak lama kemudian, anak saya dibawa oleh suster untuk mengenalkan dia dengan puting saya. Lalu, dokter lanjut menjahit perut saya dan prosesnya cukup lama. Oh ya, jahitan operasi saya berbeda dengan yang lain, sebab sebelumnya saya pernah operasi usus buntu dan dibedah di pusar sampai di atas kelamin. Maka, operasi caesar ini pun dilakukan ditempat yang sama.
Menjelang operasi selesai, badan saya menggigil parah. Gigi saya sampai gemeretak. Saya pun merasakan kantuk luar biasa ketika operasi, tetapi saya tidak berani tidur.
Setelah operasi, saya dibawa ke ruang pemulihan. Di sana saya dipasang alat untuk mengecek kondisi jantung dan tekanan darah. Kami di ruang pemulihan cukup lama yakni sekitar dari magrib sampai jam 9 malam. Bagaimana keadaan saya? Tentu saja, berantakan dan lemas. Kaki belum bisa digerakan karena masih dalam terkena obat bius.
Untuk cerita pasca operasi, akan saya ceritakan di postingan lainnya, ya. Semoga bermanfaat!
0 Comments:
Post a Comment
Komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Hanya memastikan semuanya terbaca :)
Usahakan berkomentar dengan Name/URL ya, biar bisa langsung BW balik saya ^^